Pengembangan masyarakat di daerah terpencil dan pedesaan membutuhkan pemimpin yang tidak hanya visioner, tetapi juga berakar kuat pada nilai-nilai dan budaya setempat. Pelatihan Kepemimpinan yang efektif harus melampaui teori manajemen modern dan mengintegrasikan kearifan lokal (local wisdom) sebagai fondasi utama. Strategi ini memastikan bahwa pemimpin komunitas yang dihasilkan memiliki legitimasi sosial yang kuat dan mampu memobilisasi warga dengan cara yang resonan dan berkelanjutan. Berbeda dengan pelatihan konvensional yang sering mengadopsi model Barat, Pelatihan Kepemimpinan berbasis kearifan lokal menggunakan mekanisme sosial yang sudah ada, seperti musyawarah, gotong royong, atau sistem sanksi adat, sebagai studi kasus dan praktik terbaik. Sebuah inisiatif yang dikoordinasikan oleh Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) di Provinsi Kalimantan Barat pada akhir 2024 menunjukkan bahwa program yang menggabungkan prinsip Musyawarah Mufakat lokal dalam pengambilan keputusan berhasil meningkatkan partisipasi warga dalam proyek pembangunan infrastruktur desa sebesar 75%.
Kearifan lokal menawarkan modul-modul kepemimpinan yang telah teruji waktu. Misalnya, konsep Tri Hita Karana di Bali (hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan) dapat diimplementasikan sebagai kerangka kerja untuk Pelatihan Kepemimpinan yang menekankan pembangunan berkelanjutan (lingkungan) dan kesejahteraan spiritual, bukan hanya keuntungan ekonomi. Atau, prinsip Sipakatau Sipakalebbi (saling menghargai dan menghormati) dari Sulawesi Selatan dapat digunakan untuk mengajarkan resolusi konflik dan manajemen tim yang empatik. Integrasi nilai-nilai ini menumbuhkan jenis pemimpin yang mengutamakan kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi, seorang agen perubahan yang benar-benar dipercaya oleh komunitasnya. Program pelatihan yang baik akan melibatkan tokoh adat, pemuka agama, atau mantan Kepala Desa sebagai narasumber utama, yang bertindak sebagai jembatan antara tradisi dan inovasi.
Pelatihan Kepemimpinan ini juga harus bersifat praktis dan berorientasi pada aksi nyata. Peserta didorong untuk segera merancang dan melaksanakan proyek kecil di desa mereka (aksi nyata) sebagai bagian dari kurikulum. Misalnya, jika isu utama desa adalah pengelolaan limbah, pemimpin muda yang dilatih didorong untuk memimpin inisiatif pengadaan bank sampah atau edukasi pemilahan sampah rumah tangga. Proses learning by doing ini tidak hanya menguji keterampilan kepemimpinan mereka di lapangan, tetapi juga menciptakan dampak positif langsung bagi masyarakat. Tim pemantau dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Pembangunan di Bandung, Jawa Barat, pada 10 Maret 2025, mencatat bahwa peserta pelatihan yang menjalankan proyek aksi mendapat skor evaluasi kepemimpinan 20% lebih tinggi dalam aspek problem-solving dan mobilisasi dibandingkan peserta yang hanya mengikuti sesi teori.
Proyek-proyek kecil yang sukses inilah yang menjadi bukti nyata efektivitas leadership berbasis kearifan lokal dan membantu membangun kader pemimpin yang siap menggantikan generasi tua. Dengan mengakui dan memberdayakan nilai-nilai tradisional, Pelatihan Kepemimpinan ini berhasil menghasilkan pemimpin yang relevan, bertanggung jawab, dan paling penting, mampu menggerakkan perubahan yang bertahan lama dan sesuai dengan identitas budaya lokal.

