Pengembangan masyarakat desa yang berkelanjutan seringkali terkendala oleh keterbatasan akses terhadap pendidikan formal dan pelatihan kejuruan yang relevan. Padahal, di dalam setiap desa, terdapat sumber daya manusia dan kearifan lokal yang perlu diaktifkan. Kunci untuk membuka gerbang kemajuan ini terletak pada strategi edukasi non-formal yang efektif, yang bertujuan untuk Menggali Potensi Tersembunyi warganya. Berbeda dengan pendidikan formal yang kaku, edukasi non-formal menawarkan fleksibilitas, relevansi kontekstual, dan fokus pada keterampilan praktis yang dapat segera diterapkan. Program-program ini dirancang untuk mengatasi masalah spesifik desa, seperti pengelolaan sumber daya alam, peningkatan nilai jual produk lokal, atau literasi keuangan dasar. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pusat Kajian Pembangunan Desa Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 19 September 2024, menyoroti bahwa komunitas yang terlibat dalam pelatihan non-formal yang spesifik, seperti teknik pengemasan produk turunan kopi, berhasil meningkatkan pendapatan kolektif rata-rata 30% dalam satu tahun. Hal ini membuktikan bahwa strategi yang tepat dapat Menggali Potensi Tersembunyi dan mengubahnya menjadi nilai ekonomi nyata.
Strategi pertama yang vital adalah Pendekatan Partisipatif. Edukasi non-formal tidak boleh bersifat top-down (dari atas ke bawah). Program harus diawali dengan asesmen kebutuhan masyarakat yang sebenarnya, melibatkan tokoh adat, perangkat desa (seperti Kepala Dusun), dan pemuda setempat. Tujuannya adalah memastikan bahwa topik pelatihan benar-benar relevan dengan masalah atau peluang yang ada di desa tersebut. Misalnya, jika mayoritas desa adalah perajin bambu, pelatihan harus berfokus pada desain produk inovatif atau akses pasar digital, bukan pelatihan yang tidak berkaitan. Strategi kedua adalah Pemanfaatan Mentor Lokal. Daripada mendatangkan instruktur dari kota besar, program lebih baik berfokus pada identifikasi dan pelatihan „pelatih inti” dari dalam desa itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga membangun rasa kepemilikan program dan memastikan keberlanjutan. Mentor lokal lebih memahami dinamika sosial dan bahasa komunitas, sehingga proses Menggali Potensi Tersembunyi menjadi lebih mudah diterima dan dipraktikkan.
Strategi ketiga adalah Edukasi Berbasis Aksi (Action-Based Learning). Pelatihan harus meminimalkan teori dan memaksimalkan praktik langsung. Misalnya, dalam pelatihan keuangan, warga tidak hanya mendengarkan ceramah tentang pembukuan, tetapi langsung mempraktikkan pencatatan modal dan laba untuk produk hasil panen mereka. Penerapan langsung ini memastikan bahwa keterampilan yang diajarkan melekat dan menghasilkan perubahan perilaku yang nyata. Pada kasus Desa Cibuntu di Jawa Barat, Kepala Desa Bapak Ahmad Syarief melaporkan pada 15 Mei 2025 bahwa setelah serangkaian workshop pengolahan makanan pascapanen, kelompok ibu-ibu PKK berhasil menciptakan tiga produk unggulan baru, yang langsung dijual di pasar online lokal.
Strategi terakhir adalah Integrasi Teknologi Tepat Guna. Walaupun berada di desa, edukasi non-formal modern tidak boleh mengabaikan teknologi sederhana. Pengajaran dasar e-commerce melalui ponsel pintar atau penggunaan aplikasi pertanian untuk memantau cuaca dan hama adalah contoh implementasi teknologi tepat guna. Dengan pendekatan yang terstruktur, partisipatif, berbasis aksi, dan didukung teknologi sederhana, edukasi non-formal menjadi motor penggerak utama dalam pemberdayaan, secara berkelanjutan Menggali Potensi Tersembunyi yang ada di setiap penjuru desa, mengubahnya menjadi masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

